PRANANDA PRABOWO tak pernah menjadi bintang utama dalam panggung politik Indonesia, bahkan ketika seluruh dinamika kekuasaan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kian mengerucut pada soal suksesi. Dalam narasi publik, dia lebih mirip bayangan yang berjalan di belakang layar: pendiam, tak banyak bicara, dan jauh dari sorotan kamera. Berbanding terbalik dengan kakak tirinya, Puan Maharani, yang selalu tampil di depan sebagai sosok pewaris sah dan resmi dari Megawati Soekarnoputri.
Meski begitu, dalam tubuh partai berlambang banteng tersebut, nama Prananda tetap hidup sebagai sosok penting. Ia adalah anak kandung Megawati dari pernikahan pertamanya dengan almarhum Lettu Pnb Surindro Supjarso, dan memiliki akses langsung terhadap dapur strategi PDIP. Prananda bahkan disebut-sebut sebagai motor utama di balik Tim 11, kelompok elite yang merancang kemenangan Jokowi di Pilpres 2014. Ironisnya, dukungan Prananda terhadap Jokowi saat itu justru menjadi pemantik konflik panas dengan Puan.
Menurut laporan The Jakarta Post pada 12 April 2014, pertengkaran terjadi antara Puan dan Prananda dan sempat membuat Megawati menangis. Bukan semata karena Jokowi diusir pergi dari rumah oleh Puan di momen itu, tapi karena ia menyaksikan secara langsung jurang yang semakin menganga antara dua anaknya.
Di satu sisi, Puan adalah simbol kesinambungan dari faksi politik sang ayah, Taufik Kiemas. Di sisi lain, Prananda menjadi representasi politik yang lebih teknokratik, modern, dan kadang bertentangan dengan arus besar keluarga.
Kini, di tengah isu perpanjangan masa jabatan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP, perdebatan soal regenerasi kepemimpinan pun kembali mencuat. Puan tampaknya masih menjadi kandidat utama, namun bayang-bayang Prananda tetap menghantui proses tersebut. Ia memang tidak punya massa akar rumput yang loyal seperti Puan, tapi punya akses terhadap ide, digitalisasi, dan sirkulasi wacana internal partai. Di tengah kelesuan ideologis PDIP pasca-Jokowi, inilah yang membuat nama Prananda tetap hidup.
Pertanyannya, seberapa besar peluang Prananda untuk bisa mengalahkan Puan?
Warisan, Kekuasaan, dan Konflik Dinasti
Untuk memahami ketegangan laten antara Prananda dan Puan, dan bagaimana hal ini menentukan arah PDIP ke depan, kita perlu merujuk pada tiga teori penting tentang politik warisan dan konflik dinasti dalam partai politik.
Pertama, teori intrafamilial competition yang dikemukakan oleh Kanchan Chandra. Dalam konteks politik dinasti, Chandra menjelaskan bahwa konflik antar anggota keluarga elite bukanlah hal yang jarang, melainkan hal yang sistemik. Ketika sistem partai dibangun di atas otoritas karismatik pendiri, seperti PDIP yang digerakkan oleh nama besar Soekarno dan Megawati, maka transisi kekuasaan akan selalu menyimpan bara. Di sinilah konflik antara “anak biologis” dan “anak ideologis” seperti Prananda dan Puan menjadi titik konflik.
Kedua, kita bisa memakai teori elite circulation dari Vilfredo Pareto. Menurutnya, setiap elite memiliki kecenderungan untuk menciptakan regenerasi dalam dua bentuk: konservatif dan inovatif. Puan adalah bentuk konservatif—mengandalkan struktur lama, jaringan lama, dan loyalitas lama. Prananda adalah bentuk inovatif—ia senyap, namun punya pola pikir berbeda.
Prananda menyusun strategi kampanye Jokowi 2014 secara digital, membangun “dapur kecil” PDIP berbasis informasi dan analitik, dan menghindari politik seremoni. Dalam bahasa Pareto, ini adalah bentuk sirkulasi elite yang belum selesai.
Ketiga, kita bisa merujuk pada teori symbolic capital dari Pierre Bourdieu. Dalam konteks PDIP, Puan memiliki symbolic capital yang kuat—ia cucu Soekarno, anak Taufik Kiemas, dan pemimpin DPR RI. Namun Prananda memiliki modal simbolik yang lebih subtil: ia dianggap sebagai penjaga nilai-nilai “murni” partai, yang tidak terlalu tercemar oleh pragmatisme koalisi dan intrik parlemen. Prananda adalah simbol keheningan, dan dalam dunia politik yang bising, keheningan bisa jadi bentuk kekuasaan yang paling mematikan.
Ketiga pandangan ini memperlihatkan bahwa pertarungan Puan dan Prananda bukan sekadar soal siapa yang lebih populer, tapi juga siapa yang lebih mampu mengelola kapital warisan, menghadirkan narasi baru, dan menyusun peta masa depan PDIP di tengah dunia politik yang terus berubah.
Benturan Dua Dunia
Secara kasat mata, Puan Maharani masih memegang kendali kuat dalam tubuh PDIP. Ia menjabat sebagai Ketua DPR RI, punya akses ke mesin partai, dan menjadi representasi dari faksi Taufik Kiemas yang mengakar kuat di akar rumput.
Namun pencapaian politik Puan sering kali diselimuti narasi kontroversial: mulai dari kritik terhadap kinerjanya di parlemen, kegagalan mengatrol suara PDIP, hingga kesan bahwa ia tak sepenuhnya mampu mengisi ruang karisma yang ditinggalkan Megawati.
Sebaliknya, Prananda tetap tak populer di mata publik. Tapi justru karena itu, ia tidak dibebani harapan yang berlebihan. Ia punya ruang untuk membangun kekuatan senyap, membentuk jaringan internal, dan mengatur arah kebijakan strategis partai tanpa perlu tampil sebagai figur simbolik. Dalam dunia politik, kadang justru yang tidak terlihat adalah yang paling menentukan.
Pertanyaannya, apakah Prananda punya cukup modal untuk menggantikan Megawati?
Jika ukuran utama adalah popularitas, maka Puan jelas unggul. Namun jika ukuran yang dipakai adalah daya tahan strategis dalam mengelola partai pasca-Megawati, maka nama Prananda tidak bisa begitu saja dikesampingkan. Terutama karena PDIP akan menghadapi tantangan besar dalam menjaga basis ideologi dan identitasnya setelah era Jokowi dan Megawati usai.
Ada kemungkinan bahwa Megawati sendiri tengah memainkan waktu. Dengan memperpanjang masa jabatannya, ia bisa menjaga keseimbangan antara dua faksi anaknya—memberi waktu pada Prananda untuk membangun kekuatan, sekaligus menguji kapasitas Puan dalam menghadapi realitas politik.
Namun sejarah politik selalu punya ironi. Bisa jadi, PDIP justru akan terjebak dalam kebuntuan regenerasi jika terus mengulur waktu tanpa keputusan tegas. Dalam hal ini, Prananda tetap menjadi pangeran yang tak diinginkan: ia terlalu tenang untuk dipilih, terlalu taktis untuk dibuang, dan terlalu penting untuk diabaikan.
Yang jelas, dalam politik takhta tak selalu diberikan kepada yang paling terlihat. Kadang, seperti dalam kisah para raja di era lama, pewaris sejati justru adalah mereka yang bisa berjalan paling senyap—dan paling lama.
Apakah Prananda akan jadi Ketua Umum PDIP berikutnya? Jawabannya masih tersembunyi dalam labirin politik keluarga Soekarno. Namun satu hal pasti: PDIP tak bisa selamanya bergantung pada karisma Megawati. Mereka butuh pewaris yang bukan hanya punya nama besar, tapi juga strategi baru untuk menghadapi dunia yang terus berubah. Dan dalam hal ini, mungkin justru pangeran yang tak diinginkan itulah yang paling dibutuhkan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. | MusiEkspress.Com | PinterPolitik | *** |
1 Comment
mantap