MusiEkspress.Com | JSCgroupmedia ~ Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah pusat kembali menjadi sorotan. Terutama setelah Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (BGS) menyampaikan bahwa efektivitas program ini akan diukur melalui pemantauan tinggi dan berat badan penerima manfaat setiap enam bulan sekali.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (2/10/2025), Menkes Budi menjelaskan bahwa data pengukuran tersebut akan masuk ke dalam sistem by name by address, terintegrasi dengan data Cek Kesehatan Gratis (CKG).
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan survei gizi nasional setahun sekali untuk anak-anak usia sekolah, tidak hanya yang berada di bawah lima tahun (balita), seperti yang selama ini dilakukan.
Namun, pernyataan tersebut mendapat tanggapan kritis dari Direktur Eksekutif Pinang Merah Fou, Rajo Ameh.
Menurutnya, kebijakan pengukuran berat dan tinggi badan tiap enam bulan tidak akan signifikan bila program MBG hanya diberikan sesekali atau tidak rutin.
“Kalau Makannya Cuma Beberapa Kali, Apa yang Mau Diukur?”
Menanggapi pernyataan Menkes, Rajo Ameh mengajukan pertanyaan mendasar yang mewakili keresahan banyak pihak, terutama di wilayah dengan keterbatasan logistik dan akses pangan sehat.
“Kalau pemberian MBG-nya cuma beberapa kali, atau tidak dilakukan secara konsisten, ya susah juga kalau mau ukur hasilnya setiap enam bulan.
Apa yang mau dilihat perubahan gizinya?” tegas Rajo Ameh saat ditemui usai acara Silaturahmi & Minum Teh Talua ala Minang di Manggar, Kamis (2/10).
Menurutnya, keberhasilan program MBG seharusnya tidak hanya dinilai dari sisi teknis pengukuran, tapi juga konsistensi pelaksanaan dan distribusi programnya di lapangan.
Ia menilai bahwa banyak daerah, termasuk Belitung Timur, masih mengalami kendala teknis dalam mendistribusikan MBG secara rutin ke seluruh anak usia sekolah.
Evaluasi Harus Lihat Realita di Lapangan
Rajo Ameh menekankan bahwa pengukuran efektivitas gizi bukanlah perkara administratif semata.
Ia menyambut baik semangat pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi berbasis data, tetapi meminta agar evaluasi tersebut mempertimbangkan realita lapangan, khususnya di wilayah kepulauan dan pelosok.
“Kita tidak ingin anak-anak cuma difoto, ditimbang, lalu ditinggal. Program ini seharusnya bisa menjamin keberlanjutan pemberian makan bergizi — bukan hanya di momen-momen tertentu saja,” ujarnya.
Ia juga menyarankan agar evaluasi MBG melibatkan dinas kesehatan dan pendidikan daerah secara lebih aktif, serta menyesuaikan strategi distribusi dengan karakteristik wilayah.
“Anak di kota besar dan anak di kampung ujung Belitung itu beda konteks. Akses makanan, transportasi, dan kesiapan sekolah-sekolah juga beda. Itu harus dipahami,” tegasnya.
Dukungan terhadap Survei Gizi Nasional, Tapi…
Mengenai rencana pemerintah melakukan survei gizi nasional setiap tahun, termasuk bagi anak-anak usia sekolah di atas lima tahun, Rajo Ameh memberikan dukungan.
Namun, ia mengingatkan agar survei ini tidak berhenti sebagai dokumentasi data, melainkan menjadi dasar pengambilan kebijakan yang benar-benar dirasakan masyarakat.
“Survei gizi itu penting, tapi lebih penting lagi adalah tindak lanjut dari hasil survei. Kalau ditemukan ada wilayah rawan gizi, ya harus ada intervensi yang cepat dan tepat. Jangan nunggu data tahunan buat bergerak,” ujarnya.
Arah Harapan : Jangan Simbolik
Dalam menutup pernyataannya, Rajo Ameh berharap program MBG tidak menjadi kebijakan simbolik atau politis semata, melainkan benar-benar menjadi gerakan nasional untuk memerangi malnutrisi dan stunting secara sistemik.
“Kami di daerah siap dukung MBG, tapi tolong juga pastikan program ini kuat di sistem dan konsisten dalam pelaksanaan. Kalau cuma datang, bagi makan, foto, terus pulang — itu bukan solusi,” pungkas Rajo Ameh.
📌 Fakta Cepat:
- Pemerintah pusat meluncurkan program MBG untuk meningkatkan status gizi anak sekolah.
 - Menkes menyebut berat dan tinggi badan anak akan diukur setiap 6 bulan.
 - Rajo Ameh menilai, efektivitas tidak akan signifikan jika MBG tidak diberikan secara rutin dan merata.
 
Program MBG kini berada di titik penting : antara menjadi tonggak reformasi gizi nasional, atau sekadar ritual administrasi. Rajo Ameh mengingatkan bahwa ujung tombak program tetap di lapangan — tempat di mana makanan, bukan data, yang paling dibutuhkan.| MusiEkspress.Com | */RajoAmeh | *** |


1 Comment
oke