Indralaya | Ogan Ilir | Sumatera Selatan | MusiEkspress.Com | JSCgroupmedia ~ Lebih dari satu bulan sudah berlalu sejak insiden dugaan pelecehan seksual yang menimpa seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Ogan Ilir. Namun, sampai saat ini, proses hukum yang ditangani oleh Polres Ogan Ilir dinilai tidak ada perkembangan signifikan. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan berbagai pihak, terutama mahasiswa dan aktivis yang mendesak agar keadilan segera ditegakkan.
Kasus yang melibatkan seorang mahasiswi ini pertama kali mencuat setelah korban melaporkan dugaan asusila yang terjadi pada Agustus 2025 lalu. Namun, meski laporan sudah diterima dan sejumlah saksi telah diperiksa, serta terlapor telah dimintai keterangan, pihak berwenang dianggap tidak menunjukkan progres yang berarti dalam penyelesaian perkara.
Permahi Palembang Desak Kepastian Hukum
Kekhawatiran ini akhirnya mendorong aliansi mahasiswa, Permahi Palembang, untuk turun ke Polres Ogan Ilir pada Rabu (9/10), menyampaikan desakan agar kasus ini segera diungkap dengan transparan. “Sampai saat ini, laporan tersebut tidak ada perkembangan dan tidak ada kepastian hukum bagi korban. Kami mendesak agar proses hukum segera berjalan,” tegas Raden Taufiq, Ketua DPC Permahi Palembang, di hadapan awak media.
Raden menambahkan bahwa sudah lebih dari satu bulan sejak laporan pertama kali diajukan, namun pihak kepolisian terkesan tidak menanggapi serius meski sudah ada bukti yang cukup, termasuk hasil visum yang menunjukkan adanya indikasi kekerasan fisik dan keterangan dari ahli psikologi yang menguatkan trauma korban. “Bukti-bukti yang ada sudah cukup kuat, sesuai dengan ketentuan dalam UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menyatakan bahwa saksi korban ditambah satu alat bukti lainnya sudah cukup untuk menindak pelaku. Maka dari itu, kami meminta Polres Ogan Ilir untuk segera mengungkap kasus ini,” tambahnya.
Bukti Kuat Tapi Proses Lambat
Desakan serupa juga datang dari Dr. Conie Pania Putri SH MH, kuasa hukum korban, yang mengungkapkan kekecewaannya terhadap lambannya respons pihak kepolisian. Conie menegaskan bahwa bukti-bukti yang telah diajukan sudah cukup untuk menuntut kejelasan hukum. “Dalam proses hukum ini, kami sudah menyerahkan bukti visum dan keterangan dari ahli psikologi yang memperkuat keterangan korban. Berdasarkan UU TPKS, itu sudah cukup sebagai bukti hukum untuk memproses pelaku.”
Conie, yang juga merupakan perpanjangan tangan dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Sumsel, menegaskan bahwa meskipun kasus ini semakin marak, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dan tanpa pandang bulu. “Kasus TPKS ini semakin banyak terjadi di masyarakat. Jika aparat penegak hukum tidak segera bertindak, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum kita. Harus ada efek jera agar kasus serupa tidak terulang,” katanya.
Apakah Proses Hukum Terhambat?
Namun, meski banyak pihak yang menyuarakan keprihatinan atas lambannya penanganan kasus ini, tidak ada penjelasan rinci dari pihak kepolisian terkait kendala yang dihadapi dalam penyelidikan. Beberapa pengamat hukum menduga bahwa proses hukum bisa saja terkendala oleh berbagai faktor, mulai dari lemahnya bukti fisik hingga kemungkinan adanya tekanan dari pihak-pihak yang berpengaruh.
Di sisi lain, banyak pihak yang menilai bahwa sikap proaktif dari organisasi kemahasiswaan dan aktivis hukum seperti Permahi Palembang sudah semestinya ditiru oleh lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam penanganan kasus ini. “Sangat disayangkan jika kita tidak bisa memberikan perhatian serius terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang semakin merajalela. Negara harus hadir dan memberikan perlindungan kepada korban, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata,” kata Aulia Rahman, seorang pengamat sosial yang juga aktif dalam kampanye melawan kekerasan seksual.
Harapan Dari Masyarakat
Pihak korban, bersama para pendukungnya, berharap agar Polres Ogan Ilir, serta Polda Sumsel, memberikan perhatian lebih terhadap kasus ini. Selain itu, mereka juga berharap agar kasus ini menjadi momentum bagi semua pihak untuk terus memperjuangkan hak-hak korban kekerasan seksual dan memastikan bahwa hukum benar-benar bekerja demi keadilan.
“Kami ingin keadilan bagi korban. Kami tidak ingin masyarakat kehilangan kepercayaan kepada aparat penegak hukum. Pelaku harus dihukum setimpal agar tidak ada lagi korban kekerasan seksual di masa depan,” tutup Conie.
Tantangan Ke Depan
Kasus ini mencerminkan masalah yang lebih besar terkait penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual, terutama di daerah-daerah. Meskipun terdapat kemajuan dalam undang-undang dan kebijakan perlindungan perempuan, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah implementasi yang konsisten dan cepat di lapangan. Kasus seperti ini harus menjadi peringatan bagi kita semua bahwa keadilan tidak boleh ditunda, apalagi untuk korban yang sudah menderita cukup lama.
Jika kasus ini tidak segera mendapatkan perhatian serius, dikhawatirkan akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Sebuah pertanyaan besar pun muncul: apakah hukum kita benar-benar memberi keadilan bagi mereka yang terpinggirkan? Kita tunggu langkah selanjutnya dari Polres Ogan Ilir dalam mengungkap kasus ini. | MusiEkspress.Com | */Redaksi | *** |

